Kamis, 16 Februari 2017

Menjadi Manusia



Bulan lalu, beberapa kali saya bertanya pada diri sendiri dan sesekali pada teman saya: apakah hidup serumit itu? Mengubah seorang yang lugu menjadi tak tahu malu, periang menjadi kehilangan semangat hidup, pegiat menjadi pasif, dan banyak perubahan lainnya. Bukan hidup, kemungkinan persoalan dalam hiduplah yang mengubahnya. Atau apakah mereka sendiri yang mengubahnya?

Manusia yang hidup selalu dihadapkan pada banyak persoalan yang rumit, sedang-sedang saja, atau sangat sederhana. Persoalan bisa datang kapan dan dimana saja, dari hal-hal yang disengaja atau tidak atau bahkan dari ketidaksengajaan yang disengaja. Persoalan yang cepat atau lambat harus dihadapi dan diselesaikan. Persoalan yang ketika tidak diselesaikan dengan bijak dan tepat dapat menimbulkan persoalan baru kemudian bertemu dengan persoalan lain dan saling menumpuk. Hingga akhirnya manusia itu lupa memikirkan jalan keluarnya dan menjadi penyakit yang dapat mengubahnya. Tapi persoalan inilah yang menjadikan manusia itu manusia.

Menjadi manusia adalah konsekuensi atas persoalan-persoalan itu. Persoalan yang kedatangannya membuat manusia berpikir kemudian bertindak. Persoalan yang dihadapi dengan sabar dan penuh tanggung jawab pada setiap prosesnya. Tapi tidak semua manusia sesukses itu menjadi manusia. Ada yang pada prosesnya seringkali mengeluh atau malah berpura-pura. Ia lupa bahwa selalu ada kemudahan bersama kerumitan. Padahal alasan keberadaan mereka adalah untuk menjadi manusia.

Persoalan juga bisa muncul dalam wujud kenikmatan yang terkadang membuat manusia semakin lalai. Ahh! Terlalu bertele-tele, pada intinya persoalan itu menjadi rumit dan membebani karena kurang pandai bersyukur dan bersabar. Hadapi, bersabar dan bersyukurlah.

“Kalau anda mengalami kesulitan dan penderitaan, tolong ambil konsep bahwa semua itu penting untuk anda. Anda membutuhkannya untuk tumbuh. Kalau tidak, anda gagal sebagai manusia”
-Emha Ainun Nadjib-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar