Kamis, 16 Februari 2017

Dapur Revenna



Tidak hanya lapar dan keinginan untuk makan, kemarahan, kesedihan, dan keputusasaan pun dapat berakhir di dapur. Ada banyak perasaan tak terduga yang muncul atau berakhir di dapur. Senang jika kau menginginkannya, marah tanpa sebab, atau sedih jika kau menciptakannya. Peralatan dapur dan bermacam bahan masakan menjadi pendengar yang baik atas kegembiraan dan keluhan yang tak terbahasakan. Seolah mereka yang selanjutnya bertugas meneruskan perasaan itu dengan rasa yang tak pernah sama. Seperti Revenna yang berlindung di dapur, menuangkan semua kekesalannya dalam berbagai macam masakan yang terus mengalir. Berbicara dengan sayur-sayuran dalam bahasa pribadi yang kelam tentang kesedihan dan keputusasaanya. Kemarahannya terdengar dari dentingan panci yang membuat seisi rumah menjauh. Dapur menjadi satu-satunya yang paling tahu kondisi Revenna bahkan ketika dia yang pelupa tidak menyadari kondisinya. Dari Revenna aku berkesimpulan bahwa dapur memang diciptakan untuk perempuan yang senang bercerita tetapi terkadang enggan berucap atau yang hanya ingin didengarkan atau yang kerap hanya mau di-iya-kan. Tidak hanya itu, dapur juga banyak menyarankan ide-ide luar biasa. Sesekali mainlah ke dapur, dia bisa menjadi teman yang baik untukmu.

*Revenna: tokoh dalam “of the bees and mist”-erick setiawan
 

Menjadi Manusia



Bulan lalu, beberapa kali saya bertanya pada diri sendiri dan sesekali pada teman saya: apakah hidup serumit itu? Mengubah seorang yang lugu menjadi tak tahu malu, periang menjadi kehilangan semangat hidup, pegiat menjadi pasif, dan banyak perubahan lainnya. Bukan hidup, kemungkinan persoalan dalam hiduplah yang mengubahnya. Atau apakah mereka sendiri yang mengubahnya?

Manusia yang hidup selalu dihadapkan pada banyak persoalan yang rumit, sedang-sedang saja, atau sangat sederhana. Persoalan bisa datang kapan dan dimana saja, dari hal-hal yang disengaja atau tidak atau bahkan dari ketidaksengajaan yang disengaja. Persoalan yang cepat atau lambat harus dihadapi dan diselesaikan. Persoalan yang ketika tidak diselesaikan dengan bijak dan tepat dapat menimbulkan persoalan baru kemudian bertemu dengan persoalan lain dan saling menumpuk. Hingga akhirnya manusia itu lupa memikirkan jalan keluarnya dan menjadi penyakit yang dapat mengubahnya. Tapi persoalan inilah yang menjadikan manusia itu manusia.

Menjadi manusia adalah konsekuensi atas persoalan-persoalan itu. Persoalan yang kedatangannya membuat manusia berpikir kemudian bertindak. Persoalan yang dihadapi dengan sabar dan penuh tanggung jawab pada setiap prosesnya. Tapi tidak semua manusia sesukses itu menjadi manusia. Ada yang pada prosesnya seringkali mengeluh atau malah berpura-pura. Ia lupa bahwa selalu ada kemudahan bersama kerumitan. Padahal alasan keberadaan mereka adalah untuk menjadi manusia.

Persoalan juga bisa muncul dalam wujud kenikmatan yang terkadang membuat manusia semakin lalai. Ahh! Terlalu bertele-tele, pada intinya persoalan itu menjadi rumit dan membebani karena kurang pandai bersyukur dan bersabar. Hadapi, bersabar dan bersyukurlah.

“Kalau anda mengalami kesulitan dan penderitaan, tolong ambil konsep bahwa semua itu penting untuk anda. Anda membutuhkannya untuk tumbuh. Kalau tidak, anda gagal sebagai manusia”
-Emha Ainun Nadjib-

Minggu, 12 Februari 2017

Perempuan dan Belajar

Dear girls, put BOOKS BEFORE BOYS. There is no boy at this age that is cute enough or interesting enough to stop you from getting your education. If I had worried about who liked me or who thought I was cute at your age, I wouldn’t be married to the President of United States today.” 
-Michelle Obama-

Elegan!!! Saya selalu terpukau dengan perempuan yang mendukung dan mengutamakan pendidikan. Benar bahwa perempuan sangat erat kaitannya dengan belajar. Maksud saya, bukan belajar dalam artian hanya duduk manis di kelas hingga mencapai jenjang yang lebih tinggi. Belajar dalam artian luas selain mengenyam pendidikan misalnya belajar menjadi perempuan yang baik, belajar agama, belajar me-manage waktu, keuangan, emosi, perasaan, dan banyak lagi.

Telalu klise jika saya mengatakan tidak setuju bahwa setinggi apapun pendidikan perempuan akhirnya akan ke dapur. Sejujurnya, ada benarnya juga. Memang pada akhirnya perempuan harus ke dapur tapi dapur bukan satu-satunya tujuan akhir. Karena hidup tidak selalu tentang perut. Ada keluarga yang harus dibangun dengan kasih sayang misalnya, suatu hari ada anak yang harus dibesarkan dengan asupan gizi, rohani, dan pengetahun yang baik, serta ada banyak orang yang akan membutuhkan keberadaan dan pengetahuan perempuan.

Perempuan yang berpendidikan tinggi bukan bertujuan menyaingi laki-laki tapi untuk menyiapkan peradaban yang lebih baik. Ahh! ini juga terlalu klise. Rasanya setiap laki-laki dan perempuan memiliki kodratnya masing-masing. Terakhir bercita-citalah dan belajar, usahakan cita-cita itu dengan kemampuan dan usaha terbaik. Jangan terlalu larut dalam “kegalauan,” masa depanmu membutuhkan perempuan yang tangguh dan cerdas.  Karena perempuan tidak hanya tentang dirinya tapi tentang peradaban yang akan dibangunnya.

Terakhir sekali, maaf tulisannya agak random ^_^

Minggu, 05 Februari 2017

Aku dan Lelucon


Aku seringkali tertawa ketika tak ada satupun di sekelilingku yang tertawa, mereka sedang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Aku juga sering tertawa pada lelucon yang sama sekali tidak aku mengerti mengapa ia sukses menghibur orang-orang di sekelilingku. Tetapi aku lebih sering menertawakan kebodohanku, misalnya ketika aku kehilangan fokus yang dampaknya sangat serius, ia bisa membuatku tiba-tiba tertawa. Hati-hati berada di sebelahku.

Ahh ya, aku tidak sedang ingin berteori tentang apa itu tertawa, bagaimana prosesnya, apa dampaknya bagi kamu dan aku dan seterusnya. Aku hanya ingin bercerita tentang:

Suatu hari ketika aku sedang mengikuti kuliah salah seorang dosen yang senang bercerita dan membuat lelucon. Aku senang mendengarkan cerita dan lelucon, tapi tidak dalam bahasa yang tidak aku mengerti. Sayangnya beberapa lelucon bisa benar-benar tersampaikan dalam bahasa yang tidak aku mengerti itu. Aku menyebut diriku sebagai minoritas dan otakku harus bekerja keras. Akhirnya sepanjang kelas aku hanya mengamati betapa tertariknya teman-temanku mengikuti kuliah, sedang aku lebih tertarik mengamati ketertarikan mereka. Pada saat-saat tertentu mereka tertawa terbahak-bahak sedang aku diam. Selanjutnya aku tertawa sendiri ketika mereka kembali fokus mendengarkan lelucon. Ahh betapa pentingnya mengerti bahasa, bahkan hanya untuk memahami lelucon sekalipun. Di lain waktu aku merasa kata-kata saling berbenturan dan entahlah aku pusing ketika pembicaraan berlanjut dan semakin seru sedang aku hanya berhasil memahami beberapa kata. Aku lebih memilih tidur sepanjang kelas.

Pada hari yang lain aku menyampaikan kuliah dengan menganalogikannya sesederhana mungkin. Cukup menguras pikiran dan suara. Sayangnya aku mendapati ekspresi wajah yang bingung, mungkin menyerupai ekspresiku ketika tidak mengerti lelucon itu. Di deretan depan aku mendapati kepala-kepala yang mengangguk. Syukurlah, masih ada yang mengerti. Sesulit itukah memahamkan orang lain? Baiklah, aku akan belajar. 

Cukup sekian cerita yang dipaksa nyambung dengan prolog.

Akhir-akhir ini aku berpikir mengapa harus selalu aku dalam tulisanku? Mungkin karena aku lebih mengenalku. Aku rasa seharusnya aku lebih banyak membaca, mengunjungi banyak tempat, dan mengenalmu.