Minggu, 05 Februari 2017

Aku dan Lelucon


Aku seringkali tertawa ketika tak ada satupun di sekelilingku yang tertawa, mereka sedang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Aku juga sering tertawa pada lelucon yang sama sekali tidak aku mengerti mengapa ia sukses menghibur orang-orang di sekelilingku. Tetapi aku lebih sering menertawakan kebodohanku, misalnya ketika aku kehilangan fokus yang dampaknya sangat serius, ia bisa membuatku tiba-tiba tertawa. Hati-hati berada di sebelahku.

Ahh ya, aku tidak sedang ingin berteori tentang apa itu tertawa, bagaimana prosesnya, apa dampaknya bagi kamu dan aku dan seterusnya. Aku hanya ingin bercerita tentang:

Suatu hari ketika aku sedang mengikuti kuliah salah seorang dosen yang senang bercerita dan membuat lelucon. Aku senang mendengarkan cerita dan lelucon, tapi tidak dalam bahasa yang tidak aku mengerti. Sayangnya beberapa lelucon bisa benar-benar tersampaikan dalam bahasa yang tidak aku mengerti itu. Aku menyebut diriku sebagai minoritas dan otakku harus bekerja keras. Akhirnya sepanjang kelas aku hanya mengamati betapa tertariknya teman-temanku mengikuti kuliah, sedang aku lebih tertarik mengamati ketertarikan mereka. Pada saat-saat tertentu mereka tertawa terbahak-bahak sedang aku diam. Selanjutnya aku tertawa sendiri ketika mereka kembali fokus mendengarkan lelucon. Ahh betapa pentingnya mengerti bahasa, bahkan hanya untuk memahami lelucon sekalipun. Di lain waktu aku merasa kata-kata saling berbenturan dan entahlah aku pusing ketika pembicaraan berlanjut dan semakin seru sedang aku hanya berhasil memahami beberapa kata. Aku lebih memilih tidur sepanjang kelas.

Pada hari yang lain aku menyampaikan kuliah dengan menganalogikannya sesederhana mungkin. Cukup menguras pikiran dan suara. Sayangnya aku mendapati ekspresi wajah yang bingung, mungkin menyerupai ekspresiku ketika tidak mengerti lelucon itu. Di deretan depan aku mendapati kepala-kepala yang mengangguk. Syukurlah, masih ada yang mengerti. Sesulit itukah memahamkan orang lain? Baiklah, aku akan belajar. 

Cukup sekian cerita yang dipaksa nyambung dengan prolog.

Akhir-akhir ini aku berpikir mengapa harus selalu aku dalam tulisanku? Mungkin karena aku lebih mengenalku. Aku rasa seharusnya aku lebih banyak membaca, mengunjungi banyak tempat, dan mengenalmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar