Jumat, 25 Desember 2015

Ucapan Selamat (untuk Kakak Saya)

Katanya, dulu ambo (read: bahasa bugis artinya ayah, panggilan untuk kakek saya) bercita-cita ada keturunannya yang menjadi dokter. Ceritanya bapak saya pernah mencoba mewujudkannya, tapi oleh Yang Maha Kuasa diberikan jalan yang lain. Sama halnya dengan bapak-bapak dan mama-mama (read: panggilan untuk om dan tante saya) saya yang lain yang menemukan jalan suksesnya masing-masing, bukan dokter.

Masih keturunan ambo, kakak saya. 
Kakak saya juga bercita-cita menjadi dokter. Sejak kecil hingga besar ia masih berkeinginan menjadi dokter, tidak seperti saya yang selalu mengganti cita-cita :3. Jadilah kakak saya harus menjalani 7 tahun yang sangat panjang untuk menjadi dokter. Jangan ditanya seberapa lelahnya, saya tidak tau, tapi kemungkinan besar melelahkan, saya yang masih 3 tahun lebih beberapa bulan berkuliah saja sudah merasa bosan. Jangan juga ditanya berapa kali harus jatuh-bangun. Yang saya ketahui beberapa kali, tapi kemungkinan yang dirasakan kakak saya sangat banyak kali. Tapi saya salut, kakak saya tidak pernah menyerah, ia selalu bangkit dan selalu bijak menyikapi kegagalan-kegagalan kecilnya. Kemungkinan kecil karena ia gengsi dengan adik-adiknya jika harus menyerah, hehe. Kemungkinan besarnya saya tidak tau. Yang pasti kakak saya selalu bangkit dan memberi contoh kepada kami adik-adiknya, bahwa cita-cita itu harus dikejar dan diwujudkan dengan cara yang baik.

Jika saya tidak salah, akhir November kemarin dan tepat sepekan yang lalu adalah selebrasi yang sangat penting dalam hidup kakak saya. Tidak, bukan hanya bagi kakak saya, tapi bagi keluarga besar saya. Akhirnya cita-cita kakak saya terwujud. Akhirnya cita-cita ambo terwujud. Setelah entah berapa tahun lamanya ketika cita-cita itu pertama kali disebutkan, baik oleh ambo dan kakak saya. Hari itu menjadi hari berbahagia kami. Semua kami menitikkan air mata haru, bahagia. 

Perjalanan memang masih panjang. Tapi tidak akan ada apa-apanya jika dibandingkan dengan penantian 7 tahun bagi kakak saya, dan puluhan tahun bagi ambo. Tidak akan ada apa-apanya jika dibandingkan dengan seberapa besar manfaat yang bisa diperoleh dan dibagi.

Akhirnya, selamat untuk kakak saya (yang paling cantik)
Selamat juga untuk kakak-kakak saya (yang gagah) yang telah menemukan jalannya

Euforia saat wisuda
Untuk saya adiknya dan adik-adiknya yang lain,
Setiap kita mempunyai jalan dan cita-cita. Semoga kita segera menyusul menemukan jalan kita. Senantiasa kuat mewujudkan cita-cita kita dan semoga selalu memberikan manfaat bagi kita dan orang lain. 

Kamis, 24 Desember 2015

Tentang Pondok (Pesantren Sultan Hasanuddin)

Ini saya tulis setelah mendapat kabar duka dari seberang sana. Sebuah musibah yang menimpa pondok tempat saya belajar yang tidak saya ketahui kronologisnya secara pasti. Sebagian saya baca melalui media, tapi mohon maaf tidak sepenuhnya bisa saya percaya. Terlepas dari musibah tersebut, saya mencoba mengingat kembali apa yang saya rasakan ketika disana dan pendapat saya tentang hidup berpesantren. Jadi, ini murni opini saya seorang.

Bagian ini saya tulis dengan memposisikan saya sebagai santriwati yang sedang mondok disana.

Hidup disini, melahirkan banyak rasa. Pertama kali menginjakkan kaki, melelahkan. Baru saja saya lulus dari bangku sekolah dasar yang setiap harinya masih serba berkecukupan, masih bisa makan yang enak-enak, bermain sesukanya, beribadah yang tidak teratur, jajan sesuka hati, dan banyak lagi. Disini saya harus bangun sebelum adzan subuh, bergegas ke masjid, lepas shalat subuh mengikuti mufradat (baca: belajar kosa kata Arab dan Inggris) hingga pukul 06.00 WITA. Pagi-pagi harus memastikan tempat tidur telah rapi, menyelesaikan tugas membersihkan, antre kamar mandi, dan menyiapkan sarapan sendiri sebelum apel pagi. Selanjutnya masuk kelas hingga waktu dzuhur, makan siang, kemudian bergegas lagi ke kelas untuk pelajaran siang hingga waktu ashar. Selepas shalat ashar harus mengikuti mufradat lagi. Kemudian jadwal bebas yang tidak sepenuhnya bebas, beberapa sore diisi dengan latihan pramuka, tapak suci, atau beberapa kelompok belajar, dan sebelum waktu maghrib masih harus kerja bakti lagi (membersihkan). Kemudian antre lagi untuk mandi sore. Belum lagi jika dalam beberapa kegiatan datang terlambat, bisa jadi waktu bersantai akan semakin berkurang karena harus menyelesaikan hukuman. Sangat melelahkan dan rasanya waktu perpulangan (libur) begitu lama, itu yang saya rasakan saat masa adaptasi.

Setelah beberapa minggu berlalu, semuanya menjadi biasa. Saya mulai terbiasa dan menemukan rasa yang lain. Menyenangkan! Menantang!

Belajar bersama
Pada pekan perkenalan santri baru (baca: khutbatul arsy), ada sebuah pertanyaan yang hingga saat ini saya masih bingung, jawaban seperti apa yang paling tepat. “Ke pondok, apa yang kau cari?” Pertanyaan yang sarat makna. Rasanya, semua jawaban yang terpikirkan di kepalaku terbantahkan dengan itu tidak harus diperoleh di pondok, di tempat lain pun bisa selama ada keinginan dan usaha. Apa yang saya cari? Entahlah. Tapi, 3 tahun disana membuat saya menemukan banyak hal yang sangat berarti dan tentu saja bermanfaat bagi saya sekarang dan InsyaAllah hingga ke depannya.

Tentu saja, “belajar” disana sangat menantang. Tidak cukup dengan “pintar” untuk berprestasi, tapi harus pandai mengatur waktu dan bijak menghadapi masalah sehari-hari. Jalinan pertemanan pun akan terasa berbeda dibandingkan dengan tempat lain. Bayangkan saja, kami berada di tempat yang sama selama 1x24 jam. Tidur di kamar yang sama, mandi di tempat yang sama, makan menu yang sama, belajar dan bermain pun di tempat yang sama. Bosan? Tidak juga, meski dengan orang yang itu-itu saja, selalu ada cerita baru setiap harinya yang bisa kami ceritakan, tertawakan, bahkan kami tangisi bersama. Pada saat-saat tertentu, kami juga melakukan sedikit kenakalan, dan tentu saja kami akan mendapatkan hukuman. Tidak sakit, ia lebih indah dikenang. Disini kami belajar bukan dari seorang “pengajar,” tapi “pendidik.” Setiap hari kami tidak hanya menyimak-menulis-menghafalkan-mengulangi kembali-mengisi lembar ujian. Ada sesuatu yang membekas dalam diri kami sehingga semuanya tidak hanya berakhir di lembar ujian. Setidaknya itu yang saya rasakan.

Makan bersama
Dan masih banyak lagi yang tidak bisa saya tulisakan semuanya. 

Bagian selanjutnya, saya memposisikan diri saya sebagai bukan santriwati lagi.

Hidup dan belajar di pondok pesantren bukanlah hal yang mengerikan, kolot, atau menyedihkan. Umumnya pondok pesantren memang menerapkan sistem pembelajaran yang berbeda dengan sekolah umum, sehingga tentu saja akan memberikan keluaran yang berbeda. Di pondok, santri mendapatkan lebih banyak bekal, selain ilmu pengetahuan umum, tentu saja santri juga dibekali dengan ilmu agama dan sangat banyak pelajaran hidup.

Menitipkan anak untuk mondok bukan berarti serta merta melepaskan tanggung jawab orang tua dalam hal mendidik misalnya. Perlu kerjasama dan komunikasi yang baik antara pembina dan orang tua. Tidak melepaskan tanggung jawab juga bukan berarti masih bisa bertindak semaunya. Ketika di rumah, orang tua perlu memberikan pemahaman yang baik kepada anak. Ketika tidak di rumah, orang tua perlu mempercayakan kepada pembina dengan tidak serta merta melepasnya, sebaiknya ada komunikasi dua arah dengan pembina mengenai perilaku dan perkembangan di sana dan di rumah. Pengetahuan ini bisa menjadi referensi bagi orang tua dan pembina dalam menyikapi anak selanjutnya. Jangan sampai malah orang tua yang melanggar peraturan yang telah ditetapkan pondok. Percayalah peraturan yang meski terkadang sulit itu tidak akan dibuat jika tidak ada manfaatnya.

Menjadi pembina bukanlah hal yang mudah. Bayangkan saja ada berapa anak yang harus dipikirkan dan diperhatikan asupan pengetahuan, rohani, dan gizinya. Ada berapa banyak karakter anak yang harus dipahami. Apalagi anak-anak yang sedang mengalami masa pertumbuhan yang cenderung semaunya dan cukup sulit diberi pemahaman. Karenanya jika ingin menghasilkan keluaran yang baik, yang setidaknya sesuai dengan panca jiwa pondok (baca: jiwa keihlasan, jiwa kesederhanaan, jiwa berdikari, jiwa ukhuwah islamiyah, dan jiwa bebas), yang dapat bermanfaat bermanfaat bagi masyarakat dibutuhkan kerjasama semua elemen pondok: pembina, orang tua, santri, kawan seangkatan, kakak tingkat, adik kelas, alumni dan masyarakat sekitar. Disana mereka hidup bersama maka memang harus saling peduli. Hubungan antara semua elemen pondok tersebut seyogyanya telah diatur dengan baik dalam serangkaian peraturan di dalam pondok, sisanya kembali ke pribadi masing-masing elemen, bagaimana mereka harus mengurangi ego untuk kepentingan bersama.

Terakhir, diperlukan pula evaluasi rutin. Setiap elemen, baik santri, pembina, orang tua, alumni, dan masyarakat harus saling mengetahui apa yang kurang dan apa yang harus diperbaiki. Sekali lagi jika menginginkan keluaran yang baik, idealnya menurut saya seperti itu. Meskipun sebenarnya yang ideal itu tidak pernah terjadi, namun yang mendekati ideal itu ada.

Untuk musibah yang baru saja terjadi.
Kita hanyalah manusia. Terkadang cobaan itu harus datang sebagai teguran. Bahwa sebanyak apapun perhatian yang telah diberikan kita masih saja bisa lengah. Tapi percayalah, setelah melewatinya kita akan lebih kuat dan bijak dari sebelumnya. Tetap kuat, dan jangan lupa berdoa kepada Yang Maha Memberi Kekuatan. ^_^

Jayalah dikau, abadilah namamu
Pondok Pesantren Sultan Hasanuddin

Pondok Pesantren Sultan Hasanuddin

Jumat, 18 Desember 2015

Keajaiban cin(TA) - I

Kami memasuki laboratorium. Hari ini sangat bersemangat, setidaknya lebih dari biasanya. Ini hari pertama kami resmi memulai pekerjaan di laboratorium untuk keperluan Tugas Akhir (TA). Setelah lama jas laboratorium kami terlipat rapi di lemari. Siang berganti petang, lalu malam. Kami pun demikian, bergantian pulang untuk mandi dan mengisi kampung tengah.

Aku baru saja kembali setelah masih lapar karena kemalasanku mengunyah makanan. Telah terbayang malam hari ini yang akan panjang. Dan ahh! Baru saja kami akan melanjutkan pekerjaan tiba-tiba sesuatu terjadi. Sesuatu yang mengubah malam panjang kami menjadi perasaan yang entah. Sedikit kecewa. Pekerjaan kami harus terhenti. Artinya timeline kami juga harus mundur. Malam ini, jadilah kami seperti malam-malam sebelumnya yang kebingungan akan mengerjakan apa. Padahal sudah bersemangat. Padahal sudah menyusun rencana. Padahal sudah menunda kegiatan lain. Dan padahal sudah meneguk segelas kopi.


Selamat malam. Keajaiban cin(TA) bisa berupa masalah atau kendala, ia bisa datang pada waktu, kesempatan, dan kondisi yang tidak diduga.

Kamis, 12 November 2015

Adalah sebuah kebetulan yang indah. Kebetulan yang saling mengenal di bangku SMA, kemudian dipertemukan kembali di bangku kuliah, pada jurusan yang sama pula. Seperti itulah aku sering mendengar cerita, tentang pertemuan bapak dan mama.

Tentang pertemuan bapak dan mama. Ada satu hal yang tak pernah luput dari ingatanku.
Dulu, aku sering iseng membongkar lemari-lemari di rumah. Pernah suatu hari aku menemukan buku catatan kecil berwarna biru. Buku itu sudah sangat tua, terlihat dari kertasnya yang telah menguning. Karena penasaran, aku membukanya. Di dalamnya kutemui tulisan tangan bapak, yang aku menduganya ditulis ketika sedang diam-diam menyukai mama. Setidaknya di dalamnya aku menemukan nama mama dalam kalimat yang dirangkai dengan kata-kata indah. Romantis sekali :3 Aku sering tertawa sendiri jika mengingatnya. Maafkan keisenganku.

Sungguh, aku sangat bersyukur akan pertemuan yang kebetulan itu.

Lewat seminggu setelah ulang tahun pernikahanmu.
Bukan selamat yang ingin kuhaturkan
Tapi terima kasih yang tiada terhingga

Terima kasih, 
karena telah memilih untuk saling mencintai
dan menghadirkan kami dalam keluarga kecilmu.

Terima kasih,
untuk kasih sayang yang tak pernah putus,
untuk didikan dan semangat yang luar biasa.

Kami menyayangimu.
Anakmu

Ini potret 2 tahun lalu di pantai Losari,
 yang diam-diam kuambil ketika kami sedang asyik bermain di bawah gerimis

Sabtu, 26 September 2015

Menciptakan Momen Lebaran

Sebelumnya, mohon maaf jika judul tulisan saya tidak terlalu sinkron dengan isinya. 


Masih dalam suasana hari tasyrik, tapi sampai malam ini saya belum menyaksikan pemotongan hewan kurban. Hehew.

Ceritanya, saya ikut shalat ied tanggal 23 September 2015 kemarin, berbeda dengan kalender Masehi di kamar saya, yang berwarna merah pada hari esoknya. Karenanya pada hari saya lebaran, perkuliahan tetap berlangsung, alias tidak ada libur. Jauh dari harapan saya, yang membayangkan Selasa sore tertempel pengumuman “perkuliahan diliburkan pada 23-24 September 2015,” atau dari lubuk hati saya yang paling dalam, saya berharap perkuliahan diliburkan 23-25 September 2015, sehingga Selasa sore saya bisa mudik hingga hari Ahad. Percayalah, lebaran sendiri di perantauan itu jauh lebih menyedihkan dibandingkan berkumpul di rumah bersama keluarga.

Kebetulan, 23 September bertepatan dengan hari Rabu, yang menurut jadwal kuliah, saya ada kelas jam 07.00-08.40 WIB. Jadilah lebaran saya semakin tidak berasa hari lebaran. Biasanya beberapa hari sebelum lebaran saya di dapur membuat kue lebaran (baca: saya ke dapur, setelah kuenya hampir jadi) dan satu hari sebelum lebaran saya ikut membantu membungkus buras, makanan pengganti nasi yang dimasak dengan santan dan dibungkus daun pisang. Setelah shalat ied, biasanya saya: ikut ziarah ke kuburan keluarga – makan menu lebaran – menyaksikan pemotongan hewan kurban – masak daging kurban (ini bagian yang paling malas saya lakukan, hehe).  

Tahun ini bukanlah kali pertama saya sendiri berlebaran, tapi tahun ini adalah lebaran yang paling tidak terasa momennya. Setelah melaksanakan shalat ied yang saya nyaris terlambat mengikutinya, saya bergegas merapikan mukena dan sajadah kemudian menunggu tebengan teman menuju ke kampus (terima kasih Aan ^_^). Alhamdulillah, shalat ied berakhir pada pukul 06.30 WIB. Artinya saya tidak harus menjelaskan alasan keterlambatan saya masuk kelas (padahal saya sudah menyusunnya satu hari sebelumnya :-P). Setelah kuliah berakhir, saya bingung harus makan apa (agar lebaran saya lebih terasa) tapi kaki saya terus berjalan membawa saya ke kantin pusat. Tidak, saya tidak ingin makan soto hari ini (jika dia coto, saya sangat menginginkannya). Tidak juga dengan pecel, gado-gado, nasi jamur, urap, bakso, dan mie ayam. Akhirnya saya memilih makanan yang paling sepi pelanggan, ayam pok-pok. Ahh, menu ini tidak pernah dihidangkan di rumah saat hari lebaran, batinku. Setelah makanan saya habis, saya masih belum merasakan momen lebaran saya.

Ahh ya, biasanya saat lebaran, di rumah selalu tersedia kue kering (kami menyebutnya bangke-bangke). Jika kue di rumah habis, saya hanya harus menyeberang ke rumah tante, cukup dengan 5 – 10 langkah (tergantung seberapa lapar saya). 

Kamis sore, akhirnya saya memutuskan jalan keluar kosan (baca: karena lapar) dengan tujuan yang belum jelas. Sebagaimana dugaan saya, penjual makanan banyak yang tutup, tapi tidak dengan sakinah, minimarket serba lengkap di dekat kampus. Saya memilih masuk ke sakinah membeli jajan yang sebenarnya tidak terlalu saya inginkan. Setelah memutari beberapa rak, akhirnya saya kembali ke rak coklat batang. Seketika saya memutuskan membuat kue lebaran saya. Saya memilih rasa coklat susu, karena dark coklatnya habis dan selanjutnya memenuhi keranjang belanjaan saya dengan koko krunch, cup kertas, dan gelas stainless steel. Biasanya saya juga menambahkan kacang mente dan corn flakes, namun di sana tidak tersedia dalam bungkusan kecil. Saya berharap, dengan membuat kue lebaran momen lebaran saya bisa terasa.

Saya memilih membuat coklat, karena cukup praktis, enak, harga standar, bisa dibuat tanpa menggunakan kompor (diganti dengan heater atau rice cooker), dan yang paling penting adalah hanya kue jenis ini yang berhasil saya buat sendiri (baca: setelah pernah satu kali gosong saat melelehkan coklat). Harap maklum. 


Singkat cerita, kue lebaran saya telah jadi. Saya yakin rasanya enak, tapi saya tidak terlalu tetarik memakannya. Setidaknya hasrat membuat kue saya untuk menciptakan momen lebaran telah terpenuhi. Lol.



Jika kamu ingin mencobanya, berikut saya cantumkan cara membuatnya (mungkin kamu sudah pernah membuatnya dengan hasil yang lebih baik dari buatan saya :3). 
  1. Siapkan semua bahan yang dibutuhkan. Lebih baik jika menggunakan panci dan kompor. Saya memilih heater karena sedang malas ke dapur.
  2. Panaskan air dengan menggunakan heater.
  3. Masukkan coklat ke dalam gelas kemudian lelehkan di atas air dalam heater. Jika tangan kamu kepanasan, gunakan barang apapun yang memungkinkan yang ada di dalam kamar, misalnya pulpen. Hati-hati jangan sampai gelasnya miring dan coklatnya terkena air.
  4. Aduk coklat yang telah meleleh, letakkan di tempat yang aman.
  5. Tambahkan koko krunch (dan/ atau corn flakes; dan/ atau mente). Aduk hingga rata.
  6. Cetak coklat pada cup dengan menggunakan sendok. Kamu juga dapat menambahkan hiasan seperti sprinkle, agar coklatmu lebih menarik. Dinginkan di dalam kulas (jika ada) agar tampak lebih mengkilap.


Nb: pikirkan baik-baik sebelum kamu memutuskan sekolah di tempat yang jauh dari rumah, karena kamu akan kesulitan mudik pada saat lebaran, terlebih lebaran idul adha. 

Sabtu, 04 Juli 2015

Tradisi sarapan berdua membuat kita hampir setiap pagi selama 3 tahun sarapan dengan menu yang sama. Secara bergiliran kita menyiapkan sarapan. Hari giliranku, dan giliranmu di lain hari. Mungkin ini sebabnya, aku tak pernah bisa melupakanmu, sejak 9 tahun yang lalu mengenalmu :3. Selain karena kita cukup banyak menghabiskan waktu bersama selama 3 tahun di pondok. Belajar, main, bercerita, dan banyak lagi. Oh ya, kita juga pernah terjebak sebagai (aku menyebutnya penggembira) dalam kegiatan Lomba Tingkat III di Somba Opu. Beberapa hari itu sungguh konyol.

Jangan ditanya seberapa banyak rahasia yang pernah saling kita ceritakan. Tidak kalah banyaknya dengan cerita baru yang akan kita bagikan ketika bertemu setelah berbulan-bulan sibuk dengan urusan masing-masing.


Hari ini kuucapkan selamat untuk hari kelahiranmu.

Sungguh, ini sangat tidak istimewa jika dibandingkan dengan hadiah yang aku terima darimu setiap tahun.
Semoga segala pengharapanmu tercapai.
Senantiasa diberi kekuatan untuk mewujudkan cita dan cinta.
Semoga usia yang semakin matang, membuat kau semakin dekat dengan-Nya.


Love you ;-)

Jumat, 15 Mei 2015

S.Kol

Bulan Mei tahun ketiga, bertepatan dengan diluluskannya sarjana-sarjana kolokium (eh!), angkatan 2012 putaran pertama. Selepas dari ruang sidang, kami menyebut mereka yang terlihat sangat sumringah dalam balutan kemeja putih bawahan hitam sebagai S.Kol (Sarjana Kolokium), gelar yang entah dari mana asal mulanya dan siapa pencetusnya. S.Kol, gelar sebelum S.Si, yang (katanya) cukup menguras waktu untuk menyandangnya. Menguras waktu tidur, menguras waktu liburan, dan kemungkinan juga menguras waktu kuliah (bisa  jadi melalui bolos atau tidur di kelas, atau mengurusi naskah ketika kuliah sedang berlangsung, ini kata teman saya). 

Pada musim-musim ini, para pejuang kolokium menjadi tidak terlalu sulit diidentifikasi keberadaannya. Kalau tidak sedang di kosan atau di rumah, carilah mereka di RBK (Ruang Baca Kimia), bekas meja kotak (ini kemungkinan terakhir), atau di depan TU. 80% kemungkinan anda menemukannya, dalam keadaan serius memegangi lembaran jurnal yang kucel atau serius mengetikkan sesuatu di laptop, atau hanya duduk menunggu (sambil mainan HP) dosen pembimbing mereka segera lewat. Jangan mencarinya di kampus pagi-pagi pada saat hari terakhir pengumpulan naskah, mereka bisa jadi masih rempong di tempat print-printan. 

Sidang kolokium bersifat terbuka, berbeda dengan sidang TA. Anda dibolehkan masuk ke ruang sidang ketika sidang berlangsung untuk menyimak dengan baik jalannya sidang, atau menyemangati teman yang menjadi peserta sidang, atau hanya sekedar duduk menikmati ademnya ruangan teradem kedua di jurusan setelah RBK (versi saya). 

Sayang sekali dua hari sidang pertama saya lewatkan. Pertama karena waktu sidang yang bertepatan dengan kelas, kedua karena kelalaian pribadi (belum menyelesaikan tugas yang harus dikumpulkan siang ini). 
Maafkan.. Kalau boleh flashback, saya akan menyelesaikan tugas di malam hari, lantas bangun lebih pagi, mandi seadanya, siap-siap, dan meluncur ke kampus.


*Didekasikan untuk kawan-kawan SPECT12A (atau SPECTRA, bagi yang menganut versi ini) 
Sukses untuk sidang TA-nya. 

Selamat ya...
Alief Putriana Rahman, S.Kol.
Nandha Ghanisari, S.Kol.

Kamis, 14 Mei 2015

SUT Ayah


Kami memanggilnya ayah.

Beliau adalah orang yang paling setia menjemput ketika waktu perpulangan dari asrama dan mengantarkan kembali ke sekolah ketika liburan berakhir.

Beliau juga yang paling setia menanyakan setiap kebutuhan saya di asrama dan membantu melengkapinya.

Beliau senang bercerita dan bermain dengan kami, keponakannya.

Di sekolah tempatnya mengajar, beliau tergolong guru yang menyenangkan, senang membuat lelucon, dan (baca: kata teman saya yang pernah menjadi muridnya) pandai memainkan beberapa trik sulap.

Satu lagi, beliau amat telaten, di rumah seringkali memperbaiki barang-barang elektronik yang rusak.

Selamat ulang tahun ayah:-). Barakallah..
Semoga kesehatan selalu menyertai
We love you..

Rabu, 22 April 2015

Aku tidak pernah tau, kapan kiranya cerita ini dimulai, seperti aku yang akan tak akan pernah tau keseluruhan isi ceritanya.

Suatu hari, aku mendengar darimu, kisah yang aku dan kamu mungkin tak pernah menduga sebelumnya. Rasanya masih mengingat beberapa bagian, tapi aku tidak akan menceritakannya disini. Sudah cukup bingungmu beberapa tahun lalu.

Di lain hari, aku mendengar kabar darinya, yang membuatku berpikir, sebenarnya cerita ini belum berakhir. Meski kau sudah lebih dulu mengakhirinya. Aku hanya akan merusak alur cerita jika membicarakannya denganmu. 

Rasanya, aku berada di antara kalian, tapi itu tidak pernah benar-benar terjadi. 
Mungkin suatu hari nanti, aku akan membicarakan beberapa yang perlu kau tau.


nb: ini hanyalah catatan yang tak jelas arahnya, ditulis ketika dalam kebingungan melihat kalian. 

Kamis, 16 April 2015

Sudah hampir tiga tahun sejak hari ini

Tanpa terasa hampir tiga tahun berlalu sejak nama kita disebutkan dan satu persatu berjalan di atas karpet merah saat hari kelulusan. Seperti hari itu, kita juga merasa melewati 3 tahun yang sangat singkat. 3 tahun sejak upacara penerimaan siswa baru di lapangan sekolah, ketika kita belum mengenal satu sama lain.

Ada banyak hal bisa kita ceritakan, tidak kalah banyaknya dengan yang bisa kita tertawakan. Ketika membuat graffiti misalnya, atau saat makan gorengan bersama jika ada yang ulang tahun. Mungkin juga yang paling berkesan adalah saat Sinteta, Diksar organisasi, malam-malam porseni, atau SCCR. Atau bisa jadi saat kalian bersama-sama menyumbang lagu di malam ulang tahun sekolah (baca: dengan suara, yang jujur lumayan pas-pasan :-P), kegaduhan apel pagi, rolling bersama sehabis kelas sore, jogging ke pantai Lumpue yang akhirnya di tengah jalan terpaksa menahan angkot karena lelah, jajan bakso di mama Mia, malam-malam angkat air bersama ketika air mati, nobar, dan banyak lagi.

Hari ini, aku bertemu rombongan study tour sekolah. Mereka terlihat keren, sama seperti kita ketika dalam balutan jas almamater. Hari ini, aku bertemu guru-guru yang dulu membimbing kita banyak hal. Dan hari ini, aku merindukan kalian. 

Selasa, 24 Maret 2015

(Belajar) Mencintai Geokimia

Catatan kecil dari seorang awam yang baru saja diperkenalkan dengan sosok yang bernama geokimia. 


Saya adalah mahasiswa semester 6 yang sekarang seharusnya tengah disibukkan dengan yang namanya kolokium, sebagaimana kebanyakan teman saya yang hampir setiap waktu berurusan dengannya. Di jurusan kami, kolokium adalah mata kuliah wajib yang me-review jurnal atau menuliskan kembali jurnal (baca: jurnal intetrnasional) orang lain dalam sebuah naskah kolokium kemudian dipresentasikan di depan dosen, kami menyebutnya sidang (sebelum Tugas Akhir). 

Kenyataannya, saya yang tengah duduk di semester 6 ini belum mengambil mata kuliah wajib bernama kolokium tadi. Meski demikian, konon kabarnya saya telah bertekad menggarapnya mulai sekarang, sehingga semester 7 nanti bisa fokus dengan Tugas Akhir. Beberapa bulan yang lalu, saya memutuskan untuk mendalami bidang geokimia (baca: saat itu saya masih belum punya gambaran yang terlalu jelas). Ketika mulai belajar geokimia ini, saya menemukan sesuatu yang kimia, biologi, dan geografi banget. Menarik, sayangnya geografi adalah salah satu mata pelajaran yang selalu membuat saya tertidur (alias sengaja tidur) di kelas, SMP dan SMA, bahkan ketika diletakkan pada jam pertama. Karenanya, saya berkesimpulan bahwa saya tidak (terlalu) suka dengan pelajaran ini. Beruntungnya, nilai IPS saya ketika SD terbilang di atas rata-rata.

Sejak mengikuti kelas Pengantar Geokimia Organik, saya jadi mulai belajar mencintai geokimia dan semua yang berhubungan dengan geokimia, termasuk geografi (baca: sebenarnya geologi lebih tepat) tadi. Ketika menuliskan cerita ini, saya mungkin telah sedikit berhasil mencintainya, buktinya saya menuliskan ini sambil membuka-buka jurnal geokimia organik, meskipun pada akhirnya halaman yang paling awet adalah halaman ini.

Katanya, kita bisa mencintai sesuatu yang awalnya tidak kita sukai dengan belajar mencintainya, tapi tidak sebaliknya.

Perpustakaan
24 Maret 2015
Selepas kelas Technopreneurship

Selasa, 10 Maret 2015

International Women's Day: 3 Jam Bersama Ibu Sri Fatmawati

Sepotong cerita dari Ibu Sri Fatmawati, S.Si, M.Sc, Ph.D, ibu 3 orang anak, peraih penghargaan International Fellowship L'Oreal for Women in Science 2013.

(blur, foto bareng ibu cantik nan keren)


Kita tidak serta merta menjadi female scientist
Kita tidak akan serta merta menjadi female scientist bahkan ketika kita menginginkannya. Seorang scientist harus punya sense of scientist, sense of research, effort yang luar biasa, serta semangat yang semuanya harus dibangun jauh sebelum menjadi scientist.

Wanita, ibu, dan female scientist
Pada kenyataannya, kelak perempuan yang beranjak dewasa akan menjadi seorang istri, lantas mengandung, kemudian melahirkan, dan menjadi seorang ibu. Karenanya, bukan pilihan yang mudah menjadi seorang female scientist.

Menjadi wanita, ibu, dan perempuan peneliti secara bersamaan akan menguras lebih banyak tenaga. Wanita. Suatu hari nanti, akan melalui fase kehamilan yang secara hormonal akan mengalami morning sickness (atau bisa jadi all day sickness) dan perasaan stress, sementara masih tetap harus mengerjakan penelitian di laboratorium, mengajar, presentasi, dikejar deadline, dan sebagainya. Disinilah peran mental dan semangat yang kuat.

Ibu, seorang yang ahli nutrisi, bekerja seperti pelayan dan guru. Female scientis yang juga seorang ibu harus punya kekuatan, semangat, dan waktu lebih. Sembari mengerjakan penelitian, ia harus terus menambah wawasannya dengan membaca, menyiapkan nutrisi yang baik untuk keluarga, pagi, siang, dan  malam, bekerja layaknya pelayan untuk keluarga di rumah, serta guru bagi anak-anaknya. Lagi-lagi disinilah mental dan semangat yang kuat berperan.

Perempuan peneliti harus pandai membagi waktunya, menjadi wanita, ibu, dan  scientist.

Ingin menjadi female scientist, persiapkan dari sekarang
Niat. Kekuatan itu lahir dari niat. Yakinkan diri sendiri kemudian sampaikan pada orang tua karena orang tua dalah orang yang harus dilibatkan dalam suksesnya female scientist. Menyampaikan keinginan pada orang tua setidaknya akan memberikan dukungan dan doa.

IP. Seorang female scientist akan mengikuti berbagai jenjang pendidikan. IP adalah persyaratan administratif yang akan mengantarkan kita pada jenjang yang lebih tinggi.

Bercita-citalah dan belajar, usahakan cita-cita itu dengan kemampuan dan usaha terbaik.

Penunjang. Seorang peneliti harus punya pandangan yang luas dan trade record yang jelas. Beberapa hal yang menunjang misalnya aktif mengikuti kegiatan keilmiahan, memperbaiki toefl, dan banyak membaca, karena inspirasi bisa datang dari mana saja.

Pendamping. Karena beratnya tanggung jawab dan fenomena yang akan dihadapi oleh seorang female scientist, maka pendamping adalah salah satu bagian penting yang perlu dipersiapkan. Pendamping untuk seorang female scientist, sebaiknya in line atau sepemikiran (baca: bukan berarti harus sama-sama peneliti). Female scientist butuh dukungan dalam menjalankan aktivitasnya dan pendamping adalah supporter yang baik.

DoaFemale scientist tidak hanya pandai mengerahkan usaha terbaiknya, tapi juga harus pandai meminta pada yang punya hidup. Keinginan itu tidak selalu sama dengan kenyataan.

Libatkan Yang Kuasa dalam setiap pengambilan keputusan.


Menjadi seorang female scientist membutuhkan waktu yang lebih banyak, pengorbanan, dan kerja keras. Biasakanlah berada dalam jadwal yang padat mulai dari sekarang.

Ketika jatuh, bangkitlah lagi, karena jatuh berarti harus berusaha lebih keras lagi. Do your best dan serahkan hasilnya pada yang Kuasa. Hasil tidak akan pernah menghianati usaha.

---


Kita tidak bisa memilih untuk menjadi atau tidak menjadi perempuan, namun kita bisa memilih untuk menjadi perempuan dewasa.
Kehidupan itu berawal dari rahim perempuan, karenanya perempuan itu tidak hanya tentang dirinya sendiri, tapi juga tentang peradaban yang akan dibangunnya.

8 Maret 2015

Happy international women’s day