Sabtu, 09 Maret 2013

Mimpi: Tak Ada Alasan


Dia selalu bersemangat dalam segala urusan. Dia selalu menargetkan dan mengukir mimpi-mimpinya dalam catatannya. Dia adalah orang yang setiap harinya berusaha mengejar target mimpinya. Dan dia adalah orang yang hampir setiap mimpi yang dituliskannya terpenuhi.

Siang itu aku berada di tempat yang sama dengan orang yang kuar biasa ini, menunggu sebuah rapat kecil-kecilan dengan panitia inti dalam suatu kegiatan tahunan di sekolah. Beberapa bulan lagi akan diadakan seleksi olimpiade sains nasional SMA tingkat kota. Tidak banyak yang kami perbincangkan waktu itu, yang kuingat adalah dia punya mimpi untuk bisa lolos seleksi ke tingkat provinsi. Mungkin memang tidak begitu sulit bagi orang yang berlatar belakang matematika untuk menyelesaikan soal-soal olimpiade komputer jika ada kemauan untuk belajar. Di tingkat dua SMA ia baru memutuskan beralih bidang dari matematika ke komputer. Masih jelas diingatanku, ia mengatakan mimpinya itu dengan penuh semangat. Ahh, terlalu banyak hal yang ditargetkan orang gila mimpi satu ini. Namun, siapa sangka beberapa bulan kemudian aku bersama beberapa temanku, dan si Gila mimpi berhasil mewakili kotaku hingga ke tingkat provinsi. Aku makin yakin, bahwa "ketika kita menuliskan mimpi-mimpi kita, maka akan selalu ada kekuatan yang mendorong kita untuk mewujudkan mimpi itu."

Dia bukanlah orang yang begitu pandai. Dia bukanlah orang yang dianugerahi kecerdasan dari lahirnya, tetapi anugerah yang diperoleh dan dimilikinya jauh lebih berharga, bahkan dapat mengalahkan kecerdasan yang belum dimilikinya sejak lahir. Dia memiliki kemauan besar untuk maju.

Suatu hari, dia terkena penyakit yang bahkan nama penyakitnya baru kukenal kala itu. Vertigo, gangguan keseimbangan dalam telinga bagian dalam sehingga menyebabkan penderita merasa pusing dalam artian keadaan atau ruang di sekelilingnya menjadi serasa 'berputar' ataupun melayang yang menemani tahun terakhirnya di bangku SMA. Tahun terakhir yang harusnya akan lebih indah tapi malah menjadi lebih berat. Jika teman-teman yang lain disibukkan dengan berlatih soal, berburu informasi tentang jurusan yang akan dituju, mengukir hari-hari indah yang akan menjadi kenangan ketika sudah menjadi "seorang luar biasa" kelak, dengan sesekali refreshing, maka ia pun tetap menjalankan aktifitas itu, tidak diselingi dengan refreshing tapi check up rutin ke dokter. Waktu itu mungkin ia terlalu memaksakan untuk belajar hingga kondisinya menjadi semakin parah. Cobaan datang dan kali ini keberuntungan tidak berpihak padanya. Kala itu, sekuat apapun ia melawan penyakitnya, kondisi tidak jua membaik. Berhari-hari ia tidak dapat masuk, kondisi fisiknya melemah, ia tidak lagi berjalan seperti biasanya. Waktu itu aku mengira ia tidak akan bisa lagi memenuhi rentetan target dan mimpi-mimpi konyolnya. Namun yang terjadi berbeda dari yang kupikirkan, yang sakit hanyalah fisiknya. 

Tuhan memang selalu adil. Tuhan tak pernah membiarkan hamba-Nya yang mau bangkit terperangkap dalam sakitnya. Entah kekuatan apa yang didapatkannya kala itu hingga ia masih bisa bangkit dan kini tetap melanjutkan sekolah. Entah anugerah apa lagi yang diberikan Tuhan, hingga ia masih bisa bermimpi bahkan lebih konyol dari sebelumnya. Ahh, biarlah ia tetap bermimpi, mungkin dengan mimpinya ia akan menjadi berguna bagi setiap orang. Tuhan akan selalu ada menuntut setiap jalannya meraih mimpinya, toh ia tak pernah malu dan putus asa, bahkan ketika mimpinya ditertawakan dan dianggap remeh orang lain. Dan tak ada alasan bagiku dan bagi setiap orang untuk tidak mau bangkit. Tak ada alasan untuk tidak maju menjadi lebih baik, menjadi orang yang bisa diandalkan, menjadi orang lebih berguna.

"Pasti Bisa" ^^

Rabu, 06 Maret 2013

Aku Sayang Bapak


Aku bahkan sudah tidak ingat bagaimana wajah ceriaku saat ditimang bapak. Kala itu usiaku belum cukup setahun. Yang kutahu aku pernah ditinggal belajar bapak. Entah berapa tahun lamanya. Yang kuingat ketika aku mulai belajar membaca aku sering mendapat kiriman surat dari. Jika anak perempuan seusiaku saat itu merasa senang ketika mendapat hadiah boneka dari ayahnya, maka aku akan merasa senang ketika mendapat selembar surat kiriman dari bapak. Waktu itu aku memang belum pandai membaca, tapi aku tahu kalau tulisan itu adalah kerinduan dan kasih sayang bapak yang membuatku tak pernah sanggup menahan tangis ketika membacanya, bahkan ketika tulisan itu kubaca sekarang aku masih tak akan kuasa menahan tangis. Bapak mungkin tidak pernah tahu, ketika aku mulai belajar di bangku sekolah dasar di bukan tingkat satu, dua, atau tiga lagi, aku seringkali membuka kembali tulisan-tulisan itu, entah itu ditujukan kepadaku, kepada mama ataupun surat milik kakak. Aku suka membacanya, dalam tulisan itu aku bisa merasakan rindu dan kasih sayang. Sayang, sekarang sudah bukan zamannya berkirim surat.

Aku bahkan masih ingat ketika aku khawatir tidak bisa merayakan lebaran karena belum punya baju baru. Waktu itu aku masih di taman kanak-kanak. Dua hari lagi lebaran tiba, tapi bapak belum juga pulang dari perantauan dan aku belum punya baju baru. Rasanya iri melihat anak-anak lain seusiaku yang bisa memilih sendiri baju lebarannya bersama ayahnya, sementara aku, bapakku bahkan belum kunjung pulang dari tempatnya menimba ilmu. Tapi ternyata bapak tidak lupa, sebelum hari lebaran tiba bapak pulang dengan membawakan dua pasang baju lebaran, sayang ukurannya tidak ada yang pas, semuanya kebesaran, mungkin bapak mengira aku sudah tumbuh jauh lebih besar, tapi aku suka baju itu. Hijau dan biru.

Entah setiap berapa bulan sekali ayah bisa pulang. Aku selalu rindu momen ketika ayah pulang dan aku selalu mendapat hadiah buku cerita dari bapak. Terlihat tidak istimewa, tapi sangat berharga dan awet :). Aku selalu rindu libur caturwulan menjelang masuk sekolah. Jika libur sekolah tiba, bapak akan mengantarkan kami membeli kebutuhan sekolah ditemani vespa pink kesayangan, Kakak pertama dan keduaku akan duduk di kursi belakang, sementara kau dan kakak ketigaku akan berdiri di bagian depan. Momen menyenangkan yang tak terlupakan. Aku rindu masa liburan ketika aku dan kakakku diajak jalan-jalan ke pasar. Bapak sangat pandai menawar harga barang, maklum ketika SMA bapak pernah menjualkan barang keluarganya agar bisa bersekolah.

Di malam hari ketika sudah waktunya tidur dan mataku enggan terpejam, bapak akan menyanyikan sebuah lagu pengantar tidur berbahasa bugis. Aku masih ingat nada dan liriknya. Sebelumnya bapak akan menceritakan kepadaku kisah kecilnya, perjuangannya untuk bisa tetap bersekolah, dan aku akan selalu menangis dalam mata terpejamku. Aku rindu tangan halus bapak yang membelai rambutku, mengusap kepalaku sebelum tidur. Di usiaku kini yang tinggal jauh dari rumah, aku bahkan sudah sangat jarang bisa merasakan kehangatannya. Aku belajar makna dan pentingnya sebuah perjuangan dari cerita pengantar tidurku.

Aku tak pernah yakin sepenuhnya ketika memutuskan untuk melanjutkan sekolah di sekolah berasrama setamatku dari sekolah dasar. Entah, aku mungkin mulai berpikir untuk maju saat itu. Aku bahkan tak pernah mempertimbangkan bahwa aku akan merasa ketagihan, dan hingga kini aku baru sadar bahwa sesekali aku butuh tidak tinggal jauh dari rumah. Sebenarnya akupun enggan melepas langkahku jauh ke tempat ini. 

Di usiaku yang ke 18 aku memutuskan untuk tinggal sangat jauh dari rumah, bahkan aku tak bisa pulang setiap bulan seperti ketika aku masih SMP dan SMA. Aku ingat ketika mengambil keputusan, hari itu aku dengan mantabnya memilih untuk tinggal jauh tanpa memikirkan konsekuensi dahulu. Di hari keberangkatanku aku bahkan masih ingat ketika bapak memasuki kamarku. Aku tahu setiap orang tua tidak akan pernah memperlihatkan sisi lemahnya di depan anaknya untuk mengajarkan betapa pentingnya sebuah kekuatan. Tapi hari itu, mungkin bapak merasa jauh lebih sedih dariku hingga beliau tak mampu lagi menahan air matanya. Rasanya aku makin enggan pergi jauh. Bapak menangis duluan di hadapanku, mendekap tubuhku hingga dapat merasakan betapa sayang dan sedihnya waktu itu. 

Kini, aku yang ketika baru dilahirkan ditinggal belajar oleh bapak, berbalik meninggalkan bapak untuk belajar di kota pijakan yang sama. Aku bahkan merasa belum cukup dewasa untuk melewati setiap hari-hariku dirantauan, namun inilah risiko sebuah perjuangan. Ya, risiko dari sebuah pilihan dan perjuangan. 

Aku sayang bapak. Maafkan aku yang hingga kini belum bisa memberimu sesuatu berharga dan tak akan bisa membalas jasa-jasamu. Aku akan menjadi orang besar dan belajar dari perjuanganmu. Aku rindu menjadi gadis kecilmu. Terima kasih bapak..

(H110/3maret2013-21.51WIB)