Kamis, 24 Desember 2015

Tentang Pondok (Pesantren Sultan Hasanuddin)

Ini saya tulis setelah mendapat kabar duka dari seberang sana. Sebuah musibah yang menimpa pondok tempat saya belajar yang tidak saya ketahui kronologisnya secara pasti. Sebagian saya baca melalui media, tapi mohon maaf tidak sepenuhnya bisa saya percaya. Terlepas dari musibah tersebut, saya mencoba mengingat kembali apa yang saya rasakan ketika disana dan pendapat saya tentang hidup berpesantren. Jadi, ini murni opini saya seorang.

Bagian ini saya tulis dengan memposisikan saya sebagai santriwati yang sedang mondok disana.

Hidup disini, melahirkan banyak rasa. Pertama kali menginjakkan kaki, melelahkan. Baru saja saya lulus dari bangku sekolah dasar yang setiap harinya masih serba berkecukupan, masih bisa makan yang enak-enak, bermain sesukanya, beribadah yang tidak teratur, jajan sesuka hati, dan banyak lagi. Disini saya harus bangun sebelum adzan subuh, bergegas ke masjid, lepas shalat subuh mengikuti mufradat (baca: belajar kosa kata Arab dan Inggris) hingga pukul 06.00 WITA. Pagi-pagi harus memastikan tempat tidur telah rapi, menyelesaikan tugas membersihkan, antre kamar mandi, dan menyiapkan sarapan sendiri sebelum apel pagi. Selanjutnya masuk kelas hingga waktu dzuhur, makan siang, kemudian bergegas lagi ke kelas untuk pelajaran siang hingga waktu ashar. Selepas shalat ashar harus mengikuti mufradat lagi. Kemudian jadwal bebas yang tidak sepenuhnya bebas, beberapa sore diisi dengan latihan pramuka, tapak suci, atau beberapa kelompok belajar, dan sebelum waktu maghrib masih harus kerja bakti lagi (membersihkan). Kemudian antre lagi untuk mandi sore. Belum lagi jika dalam beberapa kegiatan datang terlambat, bisa jadi waktu bersantai akan semakin berkurang karena harus menyelesaikan hukuman. Sangat melelahkan dan rasanya waktu perpulangan (libur) begitu lama, itu yang saya rasakan saat masa adaptasi.

Setelah beberapa minggu berlalu, semuanya menjadi biasa. Saya mulai terbiasa dan menemukan rasa yang lain. Menyenangkan! Menantang!

Belajar bersama
Pada pekan perkenalan santri baru (baca: khutbatul arsy), ada sebuah pertanyaan yang hingga saat ini saya masih bingung, jawaban seperti apa yang paling tepat. “Ke pondok, apa yang kau cari?” Pertanyaan yang sarat makna. Rasanya, semua jawaban yang terpikirkan di kepalaku terbantahkan dengan itu tidak harus diperoleh di pondok, di tempat lain pun bisa selama ada keinginan dan usaha. Apa yang saya cari? Entahlah. Tapi, 3 tahun disana membuat saya menemukan banyak hal yang sangat berarti dan tentu saja bermanfaat bagi saya sekarang dan InsyaAllah hingga ke depannya.

Tentu saja, “belajar” disana sangat menantang. Tidak cukup dengan “pintar” untuk berprestasi, tapi harus pandai mengatur waktu dan bijak menghadapi masalah sehari-hari. Jalinan pertemanan pun akan terasa berbeda dibandingkan dengan tempat lain. Bayangkan saja, kami berada di tempat yang sama selama 1x24 jam. Tidur di kamar yang sama, mandi di tempat yang sama, makan menu yang sama, belajar dan bermain pun di tempat yang sama. Bosan? Tidak juga, meski dengan orang yang itu-itu saja, selalu ada cerita baru setiap harinya yang bisa kami ceritakan, tertawakan, bahkan kami tangisi bersama. Pada saat-saat tertentu, kami juga melakukan sedikit kenakalan, dan tentu saja kami akan mendapatkan hukuman. Tidak sakit, ia lebih indah dikenang. Disini kami belajar bukan dari seorang “pengajar,” tapi “pendidik.” Setiap hari kami tidak hanya menyimak-menulis-menghafalkan-mengulangi kembali-mengisi lembar ujian. Ada sesuatu yang membekas dalam diri kami sehingga semuanya tidak hanya berakhir di lembar ujian. Setidaknya itu yang saya rasakan.

Makan bersama
Dan masih banyak lagi yang tidak bisa saya tulisakan semuanya. 

Bagian selanjutnya, saya memposisikan diri saya sebagai bukan santriwati lagi.

Hidup dan belajar di pondok pesantren bukanlah hal yang mengerikan, kolot, atau menyedihkan. Umumnya pondok pesantren memang menerapkan sistem pembelajaran yang berbeda dengan sekolah umum, sehingga tentu saja akan memberikan keluaran yang berbeda. Di pondok, santri mendapatkan lebih banyak bekal, selain ilmu pengetahuan umum, tentu saja santri juga dibekali dengan ilmu agama dan sangat banyak pelajaran hidup.

Menitipkan anak untuk mondok bukan berarti serta merta melepaskan tanggung jawab orang tua dalam hal mendidik misalnya. Perlu kerjasama dan komunikasi yang baik antara pembina dan orang tua. Tidak melepaskan tanggung jawab juga bukan berarti masih bisa bertindak semaunya. Ketika di rumah, orang tua perlu memberikan pemahaman yang baik kepada anak. Ketika tidak di rumah, orang tua perlu mempercayakan kepada pembina dengan tidak serta merta melepasnya, sebaiknya ada komunikasi dua arah dengan pembina mengenai perilaku dan perkembangan di sana dan di rumah. Pengetahuan ini bisa menjadi referensi bagi orang tua dan pembina dalam menyikapi anak selanjutnya. Jangan sampai malah orang tua yang melanggar peraturan yang telah ditetapkan pondok. Percayalah peraturan yang meski terkadang sulit itu tidak akan dibuat jika tidak ada manfaatnya.

Menjadi pembina bukanlah hal yang mudah. Bayangkan saja ada berapa anak yang harus dipikirkan dan diperhatikan asupan pengetahuan, rohani, dan gizinya. Ada berapa banyak karakter anak yang harus dipahami. Apalagi anak-anak yang sedang mengalami masa pertumbuhan yang cenderung semaunya dan cukup sulit diberi pemahaman. Karenanya jika ingin menghasilkan keluaran yang baik, yang setidaknya sesuai dengan panca jiwa pondok (baca: jiwa keihlasan, jiwa kesederhanaan, jiwa berdikari, jiwa ukhuwah islamiyah, dan jiwa bebas), yang dapat bermanfaat bermanfaat bagi masyarakat dibutuhkan kerjasama semua elemen pondok: pembina, orang tua, santri, kawan seangkatan, kakak tingkat, adik kelas, alumni dan masyarakat sekitar. Disana mereka hidup bersama maka memang harus saling peduli. Hubungan antara semua elemen pondok tersebut seyogyanya telah diatur dengan baik dalam serangkaian peraturan di dalam pondok, sisanya kembali ke pribadi masing-masing elemen, bagaimana mereka harus mengurangi ego untuk kepentingan bersama.

Terakhir, diperlukan pula evaluasi rutin. Setiap elemen, baik santri, pembina, orang tua, alumni, dan masyarakat harus saling mengetahui apa yang kurang dan apa yang harus diperbaiki. Sekali lagi jika menginginkan keluaran yang baik, idealnya menurut saya seperti itu. Meskipun sebenarnya yang ideal itu tidak pernah terjadi, namun yang mendekati ideal itu ada.

Untuk musibah yang baru saja terjadi.
Kita hanyalah manusia. Terkadang cobaan itu harus datang sebagai teguran. Bahwa sebanyak apapun perhatian yang telah diberikan kita masih saja bisa lengah. Tapi percayalah, setelah melewatinya kita akan lebih kuat dan bijak dari sebelumnya. Tetap kuat, dan jangan lupa berdoa kepada Yang Maha Memberi Kekuatan. ^_^

Jayalah dikau, abadilah namamu
Pondok Pesantren Sultan Hasanuddin

Pondok Pesantren Sultan Hasanuddin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar