Ini saya tulis setelah mendapat kabar duka dari
seberang sana. Sebuah musibah yang menimpa pondok tempat saya belajar yang
tidak saya ketahui kronologisnya secara pasti. Sebagian saya baca melalui
media, tapi mohon maaf tidak sepenuhnya bisa saya percaya. Terlepas dari
musibah tersebut, saya mencoba mengingat kembali apa yang saya rasakan ketika
disana dan pendapat saya tentang hidup berpesantren. Jadi, ini murni opini saya
seorang.
Bagian ini saya tulis dengan memposisikan saya
sebagai santriwati yang sedang mondok disana.
Hidup disini, melahirkan banyak rasa. Pertama kali
menginjakkan kaki, melelahkan. Baru saja saya lulus dari bangku sekolah
dasar yang setiap harinya masih serba berkecukupan, masih bisa makan yang
enak-enak, bermain sesukanya, beribadah yang tidak teratur, jajan sesuka hati,
dan banyak lagi. Disini saya harus bangun sebelum adzan subuh, bergegas ke
masjid, lepas shalat subuh mengikuti mufradat (baca: belajar kosa kata Arab dan
Inggris) hingga pukul 06.00 WITA. Pagi-pagi harus memastikan tempat tidur telah
rapi, menyelesaikan tugas membersihkan, antre kamar mandi, dan menyiapkan
sarapan sendiri sebelum apel pagi. Selanjutnya masuk kelas hingga waktu dzuhur,
makan siang, kemudian bergegas lagi ke kelas untuk pelajaran siang hingga waktu
ashar. Selepas shalat ashar harus mengikuti mufradat lagi. Kemudian jadwal
bebas yang tidak sepenuhnya bebas, beberapa sore diisi dengan latihan pramuka,
tapak suci, atau beberapa kelompok belajar, dan sebelum waktu maghrib masih
harus kerja bakti lagi (membersihkan). Kemudian antre lagi untuk mandi sore. Belum
lagi jika dalam beberapa kegiatan datang terlambat, bisa jadi waktu bersantai
akan semakin berkurang karena harus menyelesaikan hukuman. Sangat melelahkan
dan rasanya waktu perpulangan (libur) begitu lama, itu yang saya rasakan saat
masa adaptasi.
Setelah beberapa minggu berlalu, semuanya menjadi
biasa. Saya mulai terbiasa dan menemukan rasa yang lain. Menyenangkan!
Menantang!
Belajar bersama |
Pada pekan perkenalan santri baru (baca: khutbatul arsy), ada sebuah pertanyaan
yang hingga saat ini saya masih bingung, jawaban seperti apa yang paling tepat.
“Ke pondok, apa yang kau cari?”
Pertanyaan yang sarat makna. Rasanya, semua jawaban yang terpikirkan di
kepalaku terbantahkan dengan itu tidak harus diperoleh di pondok, di tempat
lain pun bisa selama ada keinginan dan usaha. Apa yang saya cari? Entahlah. Tapi,
3 tahun disana membuat saya menemukan banyak hal yang sangat berarti dan tentu
saja bermanfaat bagi saya sekarang dan InsyaAllah hingga ke depannya.
Tentu saja, “belajar” disana sangat menantang. Tidak
cukup dengan “pintar” untuk berprestasi, tapi harus pandai mengatur waktu dan
bijak menghadapi masalah sehari-hari. Jalinan pertemanan pun akan terasa
berbeda dibandingkan dengan tempat lain. Bayangkan saja, kami berada di tempat
yang sama selama 1x24 jam. Tidur di kamar yang sama, mandi di tempat yang sama,
makan menu yang sama, belajar dan bermain pun di tempat yang sama. Bosan? Tidak
juga, meski dengan orang yang itu-itu saja, selalu ada cerita baru setiap
harinya yang bisa kami ceritakan, tertawakan, bahkan kami tangisi bersama. Pada
saat-saat tertentu, kami juga melakukan sedikit kenakalan, dan tentu saja kami
akan mendapatkan hukuman. Tidak sakit, ia lebih indah dikenang. Disini kami
belajar bukan dari seorang “pengajar,” tapi “pendidik.” Setiap hari kami tidak
hanya menyimak-menulis-menghafalkan-mengulangi kembali-mengisi lembar ujian. Ada
sesuatu yang membekas dalam diri kami sehingga semuanya tidak hanya berakhir di
lembar ujian. Setidaknya itu yang saya rasakan.
Makan bersama |
Bagian selanjutnya, saya memposisikan diri saya sebagai bukan santriwati lagi.
Hidup dan belajar di pondok pesantren bukanlah hal
yang mengerikan, kolot, atau menyedihkan. Umumnya pondok pesantren memang
menerapkan sistem pembelajaran yang berbeda dengan sekolah umum, sehingga tentu
saja akan memberikan keluaran yang berbeda. Di pondok, santri mendapatkan lebih banyak bekal, selain ilmu pengetahuan umum, tentu saja santri juga dibekali dengan ilmu agama dan sangat banyak pelajaran hidup.
Menitipkan anak untuk mondok bukan
berarti serta merta melepaskan tanggung jawab orang tua dalam hal mendidik
misalnya. Perlu kerjasama dan komunikasi yang baik antara pembina dan orang tua.
Tidak melepaskan tanggung jawab juga bukan berarti masih bisa bertindak
semaunya. Ketika di rumah, orang tua perlu memberikan pemahaman yang baik
kepada anak. Ketika tidak di rumah, orang tua perlu mempercayakan kepada
pembina dengan tidak serta merta melepasnya, sebaiknya ada komunikasi dua arah dengan
pembina mengenai perilaku dan perkembangan di sana dan di rumah. Pengetahuan ini
bisa menjadi referensi bagi orang tua dan pembina dalam menyikapi anak
selanjutnya. Jangan sampai malah orang tua yang melanggar peraturan yang telah
ditetapkan pondok. Percayalah peraturan yang meski terkadang sulit itu tidak
akan dibuat jika tidak ada manfaatnya.
Menjadi pembina bukanlah hal yang mudah. Bayangkan
saja ada berapa anak yang harus dipikirkan dan diperhatikan asupan pengetahuan,
rohani, dan gizinya. Ada berapa banyak karakter anak yang harus dipahami. Apalagi
anak-anak yang sedang mengalami masa pertumbuhan yang cenderung semaunya dan
cukup sulit diberi pemahaman. Karenanya jika ingin menghasilkan keluaran yang
baik, yang setidaknya sesuai dengan panca jiwa pondok (baca: jiwa keihlasan,
jiwa kesederhanaan, jiwa berdikari, jiwa ukhuwah islamiyah, dan jiwa bebas),
yang dapat bermanfaat bermanfaat bagi masyarakat dibutuhkan kerjasama semua
elemen pondok: pembina, orang tua, santri, kawan seangkatan, kakak tingkat, adik
kelas, alumni dan masyarakat sekitar. Disana mereka hidup bersama maka memang
harus saling peduli. Hubungan antara semua elemen pondok tersebut seyogyanya
telah diatur dengan baik dalam serangkaian peraturan di dalam pondok, sisanya
kembali ke pribadi masing-masing elemen, bagaimana mereka harus mengurangi ego
untuk kepentingan bersama.
Terakhir, diperlukan pula evaluasi rutin. Setiap
elemen, baik santri, pembina, orang tua, alumni, dan masyarakat harus saling
mengetahui apa yang kurang dan apa yang harus diperbaiki. Sekali lagi jika menginginkan
keluaran yang baik, idealnya menurut saya seperti itu. Meskipun sebenarnya yang
ideal itu tidak pernah terjadi, namun yang mendekati ideal itu ada.
Untuk musibah yang baru saja terjadi.
Kita hanyalah manusia. Terkadang cobaan itu harus
datang sebagai teguran. Bahwa sebanyak apapun perhatian yang telah diberikan
kita masih saja bisa lengah. Tapi percayalah, setelah melewatinya kita akan
lebih kuat dan bijak dari sebelumnya. Tetap kuat, dan jangan lupa berdoa kepada
Yang Maha Memberi Kekuatan. ^_^
Jayalah dikau, abadilah namamu
Pondok Pesantren Sultan Hasanuddin
Pondok Pesantren Sultan Hasanuddin
Pondok Pesantren Sultan Hasanuddin |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar