Bulan lalu, beberapa kali saya bertanya pada diri sendiri
dan sesekali pada teman saya: apakah hidup serumit itu? Mengubah seorang yang
lugu menjadi tak tahu malu, periang menjadi kehilangan semangat hidup, pegiat
menjadi pasif, dan banyak perubahan lainnya. Bukan hidup, kemungkinan persoalan
dalam hiduplah yang mengubahnya. Atau apakah mereka sendiri yang mengubahnya?
Manusia yang hidup selalu dihadapkan pada banyak persoalan
yang rumit, sedang-sedang saja, atau sangat sederhana. Persoalan bisa datang
kapan dan dimana saja, dari hal-hal yang disengaja atau tidak atau bahkan dari
ketidaksengajaan yang disengaja. Persoalan yang cepat atau lambat harus
dihadapi dan diselesaikan. Persoalan yang ketika tidak diselesaikan dengan
bijak dan tepat dapat menimbulkan persoalan baru kemudian bertemu dengan
persoalan lain dan saling menumpuk. Hingga akhirnya manusia itu lupa memikirkan
jalan keluarnya dan menjadi penyakit yang dapat mengubahnya. Tapi persoalan
inilah yang menjadikan manusia itu manusia.
Menjadi manusia adalah konsekuensi atas persoalan-persoalan
itu. Persoalan yang kedatangannya membuat manusia berpikir kemudian bertindak.
Persoalan yang dihadapi dengan sabar dan penuh tanggung jawab pada setiap
prosesnya. Tapi tidak semua manusia sesukses itu menjadi manusia. Ada yang pada
prosesnya seringkali mengeluh atau malah berpura-pura. Ia lupa bahwa selalu ada
kemudahan bersama kerumitan. Padahal alasan keberadaan mereka adalah untuk
menjadi manusia.
Persoalan juga bisa muncul
dalam wujud kenikmatan yang terkadang membuat manusia semakin lalai. Ahh!
Terlalu bertele-tele, pada intinya persoalan itu menjadi rumit dan membebani
karena kurang pandai bersyukur dan bersabar. Hadapi, bersabar dan bersyukurlah.
“Kalau anda mengalami kesulitan dan penderitaan, tolong
ambil konsep bahwa semua itu penting untuk anda. Anda membutuhkannya untuk
tumbuh. Kalau tidak, anda gagal sebagai manusia”
-Emha Ainun Nadjib-
-Emha Ainun Nadjib-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar